Blue fire, merupakan maskot andalan wisata Kawah Ijen. Ke Kawah Ijen rasanya belum afdhol kalau belum melihat blue fire, begitu pengakuan para traveller. Dan Blue Fire atau Api Biru itu sendiri hanya bisa dilihat pada dini hari, yaitu ekitar pukul 1 – 2 pagi. Jadi dianjurkan kita untuk mendaki pada pukul 9 atau 10 malam. Namun karena faktor cuaca buruk, musim hujan beberapa bulan terakhir ini memaksa para petugas keamanan wisata tersebut menutup sementara wisata Blue Fire, yaitu pendakian pada pukul 8 malam sampai jam 3 pagi. Lewat dari jam itu, wisata Kawah Ijen kembali dibuka. Dikarenakan kabut yang begitu tebal menyelimuti kawah dan sekitarnya untuk menghindari hal-hal yang tidak inginkan.
Namun, penutupan sementara wisata blue fire itu tidak menyurutkan semangat kami untuk tetap menjejakkan kaki ke sana, demi sebuah pembuktian pesona Kawah Ijen yang sudah santer menjadi buah bibir di kalangan para traveller. Menurut mereka, tanpa ada blue fire-pun, Kawah Ijen tetap mempesona. Akhirnya, aku dan para sahabat berangkat dari Malang menuju Kawah Ijen dengan melalui jalur utara, yaitu Malang-Pasuruan-Probolinggo-Situbondo-Bondowoso-Kawah Ijen. Bisa juga kalian mencoba jalur selatan, yaitu Malang-Lumajang-Jember-Jajag-Licin-Kawah Ijen, itu juga recommended.
Kami pun sampai di pos penjagaan pintu masuk wisata Kawah Ijen tepat pada pukul 7 pagi. Selama memasuki kawasan wisata Kawah Ijen ini, kita akan menjumpai dua pos penjagaan, yang tiap melewatinya kita perlu berhenti untuk melapor dan meminta izin pada petugas jaganya. Dari pos penjagaan pertama kita masih memerlukan waktu sekitar 1 jam perjalanan untuk menjangkau tempat parkir utama yang lokasinya tepat di kaki gunung Ijen. Setelah memarkir kuda-kuda besi tunggangan, kami melepas lelah terlebih dahulu sambil mengusir rasa lapar dengan semangkuk mi rebus di salah satu kantin dekat parkiran. Udara yang begitu dingin menggigit, sedikit terhangatkan oleh semangkuk mi rebus panas dan segelas teh yang panas juga.
Keluarga besar G-Phoc, dan logo UKM tercinta kita. Berhenti dan berfoto sesaat di pos jaga pintu masuk yang pertama.
Setelah terbayar rasa penat dan lapar, kami pun mulai melakukan pendakian menuju kawah. Awalnya derap kaki kami begitu bersemangat dan tegar menapaki tanah yang mulai menanjak ke atas itu, tapi lama-lama terasa gempor juga, hehe. Kami banyak melakukan banyak pemberhentian selama pendakian menuju kawah, selain karena faktor gempor kaki, juga karena faktor cuaca yang kurang mendukung, kabut yang tebal ditambah mendung yang gelap, dan akhirnya mendung pun merintikkan air-air simpanannya. Namun tiap kali nyali kita ciut untuk meneruskan kembali pendakian, para bapak tua penambang belerang selalu membuat kita malu. Mereka yang sudah tua saja cukup bersemangat mendaki dan menuruni kawah dengan memanggul dua ranjang berisi belerang seberat 70 samapai 80 kg, sedangkan kita yang masih muda dan hanya membawa sebotol air minum dan kamera aja udah ngos-ngosan hampir putus harapan. Malunya tuh di sini… hehe
Banyak bule dari berbagai negara yang berkunjung ke kawah, mereka tidak sungkan untuk bertegur sapa dengan kita.
Pak Mujio, salah satu penambang belerang yang berpapasan dengan kita selama pendakian.
Sebelum mencapai puncak yang berkawah itu, kami pun menjumpai sebuah kantin yang menjual pop mie aneka rasa, teh dan kopi panas. Keberadaan kantin itu sangat tepat sekali, sangat menolong para pendaki yang mulai kehabisan tenaga dan kelaparan sebelum mencapai puncak. Di kantin itu kami berhenti selama 30 menit untuk melepas lelah dan dahaga. Tak terasa hampir tiga jam sudah kami mendaki sebelum menjangkau kantin ini. Menurut penjaga kantin ini, ketinggian gunung Ijen sekitar 2.443 m dari atas permukaan laut. Woaww…! Hehe. Dan gunung Ijen ini masih aktif loo..
Kantin yang berada di atas gunung Ijen ini menjadi setitik harapan bagi para pendaki yang mulai kelelahan dan kehabisan perbekalan.
Di kantin ini pun para penambang belerang menimbang dan melaporkan hasil tambangnya ke mandornya yang telah standby menunggu.
Pendakian menuju puncak pun kami mulai kembali. Tapi tidak seberat sebelumnya, pendakian terasa ringan karena tanah tak begitu terjal, di sisi sepanjang jalan kita juga disuguhi oleh view pengunungan yang aduhai.. Pohon-pohon yang telah merangas dan tak berdaun menambah pesona view sepanjang perjalanan menuju puncak. Bagai tengah mendaki di salah satu pegunungan di Eropa, hoho.. Serius loo xixi.
View pegunungan yang bisa kita lihat di sepanjang perjalanan menuju puncak Kawah Ijen.
Pohon-pohon kering tanpa daun menjadi salah satu daya tarik pemandangan di Kawah Ijen.
Salah satu view menarik yang bisa kita lihat di sepanjang jalan menuju puncak kawah.
Bukit-bukit yang hijau mudah sekali kita temui di sepanjang jalan menuju puncak, dan itu sangat menghipnotis mata kita.
Dan akhirnya sampai juga ke puncak berkawah yang selalu aktif memproduksi belerang itu. Namun sayang kabutnya begitu tebal, ditambah bau belerang yang amat menyengat di hidung, membuat moment foto-foto sedikit terganggu dan kurang sesuai harapan. Setelah hampir 30 menit mengabadikan view-view di pinggir kawah, kami pun langsung memutuskan turun gunung kembali, karena sudah tidak tahan lagi dengan bau belerangnya yang sangat tajam, sampai membuat kami terbatuk-batuk.
Ketua Umum G-Phoc (Gajayana Photography Club) Malang, berfoto tepat di pinggir kawah yang hampir tertutup oleh tebalnya asap belerang.
Suasana di pinggir kawah, para pengunjung mencoba mengabadikan diri dan sahabat-sahabatnya.
View Kawah Ijen dari sisi lain.
Kawah Ijen yang hampir tak terlihat karena tertutupi oleh asap tebal yang berasal dari kawah itu sendiri.
Pepohonan yang kering mudah sekali dijumpai di pinggiran kawah, terlihat eksotik.
Perjalanan menuruni kawah tidak seberat ketika mendakinya. Tanah yang bercampur pasir hitam sisa-sisa aktifitas vulkanik gunung, membuat tanah begitu licin, kaki-kaki kami beberapa kali terpeleset dan meluncur bebas. Tapi seru juga. Oya, sebelumnya kami membeli beberapa oleh-oleh kerajinan dari belerang yang telah di cetak dengan berbagai bentuk yang unik dan cantik, kami membelinya dengan harga 10 ribu saja perbelerangnya untuk yang berukurab besar, yang ukuran kecil bisa lebih murah meriah, 3 ribuan perbijinya. Belerang-belerang itu bisa dijadikan pajangan atau bisa juga untuk sabun bagi para penderita alergi kulit.
Kerajinan tangan dari belerang yang telah dicetak dengan berbagai bentuk dan tulisan, lalu dikeringkan.
Pendakian di Kawah Ijen pun usai sudah, meski cuaca kurang bersahabat, namun keindahan kawah dan view-view disekitarnya tetap terlihat dan berhasil kita abadikan melalui lensa-lensa kami, meski hasilnya kurang maksimal. Jadi, kapan-kapan kita masih perlu mengulangi lagi ya para sahabatku, untuk hasil motret yang lebih wahh… Masih belum kapok mendaki kan??? haha
Keluarga besar G-Phoc di pinggir kawah Ijen.
Artcle written by Yuni