Gajayana Fotography Club

Gajayana Fotography Club

Gajayana Fotography Club

Gajayana Fotography Club

Gajayana Fotography Club

Gajayana Fotography Club

Gajayana Fotography Club

Gajayana Fotography Club

Gajayana Fotography Club

Gajayana Fotography Club

Gajayana Fotography Club

Gajayana Fotography Club

Kamis, 23 April 2015

HB (HUNTING BESAR ) ANGKATAN MUDA KE X 2014/2015

Mungkin sebagian besar sudah mengetahui apakah itu hunting besar? Hunting besar merupakan salah satu rangkaian dari program kerja di dalam UKM G-Phoc Universitas Gajayana Malang. Hunting besar ini dimaksudkan untuk pengambilan nomor keanggotaan bagi para AM-BB ke XI yang insya Allah akan dilaksanakan di puncak Dieng Wonosobo, Jawa. Tema yang diangkat kali ini adalah DI-HYANG, yang berarti Dieng. Di dalam acara Hunting Besar ini kita akan dibagi 2 kelompok dengan spot foto yang berbeda.
Di puncak Dieng tersebut kita akan mengeksplore berbagai keindahan yang berada disana, mulai dari tradisi budaya, wisata, perkampungan penduduk, sistem pertanian, dan kehidupan sehari hari dari masyarakat di daerah tersebut. Mungkin ada yang baru mendengar sebutan anak gimbal ? Hal yang paling terkenal di sana adalah adanya anak-anak berambut gimbal sehingga sering disebut anak gimbal. Sampai saat ini kita belum mengetahui sejarah adanya anak-anak berambut gimbal tersebut, apakah karena keturunan, kutukan atau hanya tradisi. Karena alasan tersebutlah kami memilih Dieng sebagai tujuan HB kali ini, selain itu kami juga ingin menyampaikan segala informasi, baik mengenai wisata, budaya, dan keunikan-keunikan lainnya, yang kami dapat disana kepada seluruh masyarakat dalam bentuk foto-foto.
Acara hunting besar ini akan dilaksanakan pada tanggal 28 Mei -2 Juni 2015. Peserta hunting ini terdiri dari pengurus dan angota G-Phoc sendiri, dan tidak dibuka untuk umum. Semoga acara yang akan dilaksanakan ini berjalan lancar .

Satu Moment di Pulau Merah Banyuwangi


“Satu moment bisa menorehkan banyak memori. Moment bersama keluarga, sahabat, dan alam…”

Kali ini jejak-jejak kakiku mendarat ke salah satu pulau di Banyuwangi, yaitu Pulau Merah atau Red Island. Bukan hanya jejak kakiku, tapi jejak kaki para sahabatku juga siap melukis cerita di atas pasir-pasir sepanjang pantai di pulau itu. Perjalanan panjang Malang-Probolingo-Bondowoso-Banyuwangi yang diwarnai panas dan hujan lebat akhirnya terbayar oleh keindahan Pulau Merah. Suasana di Pulau itu sangat mirip dengan suasana di Pantai Kuta Bali, 11:12 lahh hehe..

Menyusuri sepanjang pantai di Pulau Merah rasanya tidak lengkap tanpa mengabadikan setiap view atau moment yang kita temui bersama sahabat. Menyentuh lembutnya pasir dan hewan-hewan pantai yang berlarian di atasnya. Semakin sempurna jika kita menuliskan kata-kata indah atau nama seseorang yang kita sayang atau yang sedang kita rindukan di atasnya, dan mengabadikannya lewat lensa. So sweet bukan? Coba saja, Hehe..

Sebuah pesan kerinduan dalam aksara China di atas pasir pantai

Aku dan sebuah nama dalam aksara China yang terukir di atas pasir pantai di Pulau Merah.
Di ujung pantai kita akan menjumpai setumpuk bebatuan besar yang selalu tegar dihantam oleh kerasnya deburan ombak. Sangat puitis sekali harmoninya bila kita memakai insting alam kita dengan baik. Tapi awas, bebatuan itu berlumut dan bergigi tajam, jadi dianjurkan memakai alas kaki ketika mau bernarsis-narsisan di atasnya.

Dua pengurus G-Phoc tengah bertengger di salah satu batu besar di ujung pantai. Hoho..

Aku dan para sahabatku mengabadikan moment kebersamaan di salah satu batu besar berlatar Pulau Merah yang imut. Keren kan…

Lelah menyusuri pantai, kita bisa beristirahat dengan duduk-duduk santai di lincak-lincak yang sengaja disediakan para pengelola pantai di bawah pohon-pohon bakau, atau berayun-ayun di ayunan yang menggantung di beberapa pohon sepanjang pantai. Free alias bebas sewa. Di situ, kita juga bisa melepas dahaga dan lapar dengan perbekalan yang kita bawa, atau memesan es kelapa muda seharga 6000 rupiah saja. Lengkap sudah santai kayak dipantai-nya, hehe

Sebuah ayunan yang disedikan oleh pengelola Pulau Merah untuk para pengunjung.

Disedikan juga lincak-lincak atau tempat duduk dari kayu di bawah pepohonan bakau di sepanjang pinggiran pantai.

Para sahabat melepas dahaga dengan memesan es kelapa muda dan segelas kopi di salah satu warung yang ada di pinggiran pantai.
Atau kalau mau tempat istirahat yang lebih elit, kita bisa menyewa salah satu tempat berjemur ala bule seharga 20 ribu perjam. Tidak murah memang, tapi kita bisa bersantai di pinggir pantai ala bule-bule di pantai Kute Bali, hehe. Sembari bersantai menikmati permainan surfing para peselancar local maupun asing yang berusaha menaklukkan ganasnya ombak atau sekedar berkelakar bersama sahabat, sembari menunggu matahari turun tepat pukul 4 sore. Saat itu air laut akan surut dan kita bisa menyeberang menuju pulau kecil yang bentuknya lucu bagai…hanya dengan berjalan kaki. Meski air laut hanya sebatas lutut, waspada tetap perlu, dianjurkan ketika menyeberang tetap saling berdekatan dengan para sahabat untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Di pulau yang dikelilingi batuan cadas itu, kita bisa bermain dengan hewan-hewan laut seperti kerang, babi laut beraneka warna, cacing-cacing laut, udang-udang laut, dan hewan jenis lainnya yang mudah sekali kita jumpai. Namun hati-hati saat bertemu para babi laut itu, duri-durinya yang tajam mengandung racun yang sangat berbahaya apabila mengenai kulit kita.




Para sahabat tengah bermain dengan para hewan laut aneka rupa yang mencoba bersembunyi di antara bebatuan.


Akhir dari semua moment bersama sahabat di Pulau Merah ini perlu ditutup dengan mengunjungi toko-toko penjual oleh-oleh souvenir khas Pulau Merah yang ada di sepanjang pantai, agar liburan berasa happy ending, hehe. Ada berbagai souvenir yang dijual seperti kerajinan dari kerang, gelang dan kalung dari manik-manik, miniature kapal-kapal nelayan khas Banyuwangi, patung-patung hewan seperti luak yang konon kulitnya asli dari binatang itu sendiri yang telah dikeringkan dan diawetkan, kasihan ya luaknya dikulitin, hiks hiks..

Usai sudah satu moment berharga bersama para sahabat di Pulau Merah ini. Moment kebersamaan adalah segalanya di atas segala moment, yang akan selalu terpatri indah dalam ingatan. I would love to visit here again with you guys…! #big hug

Keluarga besar G-Phoc di atas bebatuan di ujung pantai di Pulau Merah.


Keluarga Besar G-PHOC Malang.

Article written by Yuni

SENJA







Karya pertama saya ini berjudul Senja, karena saya ingin menggambarkan suasana di balai kota malang pada waktu menjelang malam hari. Dalam tehnik pengambilan foto ini saya menggunakan speed 20 detik dan diafragma 25. Cara pengambilan foto ini sekitar pukul 6 sore, dengan menggunakan teknik blub, yaitu teknik dalam merekam cahaya.



JFMI VII MAKASSAR


JFMI (Jambore Fotografi Mahasiswa Indonesia) 7 Makassar 8-12 September 2014, merupakan kegiatan rutin yang selalu diadakan satu tahun sekali sebagai ajang silaturahmi dan ajang mempererat persaudaraan para mahasiswa UKM fotografi se-Indonesia. Setelah menunggu sekian lama, akhirnya saya bisa mengikuti kegiatan ini juga, deg-degan rasanya tak sabar pengen cepat sampai Makassar. Saya yang memawakili UKM Fotogarasi G-Phoc Malang beserta teman-teman Forkom Malang yang berjumlah sekitar 60 orang berangkat dari terminal Arjosari Malang menuju pelabuhan Tanjung Priuk Surabaya. Tak butuh banyak waktu menunggu, akhirnya kami langsung berangkat dengan menggunakan kapal laut, sekitar sehari di perjalanan laut akhirnya sampai juga di pelabuhan Makassar. Setibanya di Makasar kami langsung dijemput oleh teman-teman Makasar menggunakan bis mini, tujuan pertama kami adalah UIN Alauddin Makassar. Meski kota ini tergolong sangat puanas, tapi kami tetap menikmati setiap perjalanan berkeliling kota ini, seru..!
Tanggal 8 September 2014, tiba juga acara yang sudah ditunggu-tunggu oleh semua peserta JFMI, apalagi kalo bukan pembukaan JFMI VII Makassar dan rangkain acaranya. Semua bendera dari Forkom/ UKM Fotografi terpampang pada acara pembukaan JFMI.
Seperti biasa pembukaan suatu acara pasti diisi dengan berbagai sambutan mulai dari ketua panitia, ketua Forkom, dan lain-lainnya. Tidak hanya itu, kami pun disuguhi berbagai tarian tradisional Makassar yaitu Padupa dan Anggaru. Dan tibalah ke acara inti, yaitu workshop photography dengan pemateri Yusuf Ahmad. Usai sudah workshop photography pada hari itu. .


Usai workshop, saya dan rombongan langsung berangkat ke Tanah Toraja dengan menggunakan bis sekitar sehari perjalanan, di sepanjang perjalanan kita disuguhi pemandangan yang menarik jadi tidak terasa membosankan.


Keesokan harinya teman-teman Makassar mengajak kami melihat ritual yang amat sakral, yaitu ritual Penggantian Busana bagi jasad yang telah meninggal setelah acara adat pemakaman Rambusolok. Konon menurut kepercayaan yang ada, arwah dari orang yang meninggal tersebut akan mendatangani keluarganya kembali, dan keluarga yang didatangi itu harus merawat kembali salah satu anggota yang sudah meninggal tersebut . Arwah yang meninggal diartikan belum meninggal jika belum melakukan ritual Rambusolok.






Setelah menginap satu hari di Tanah Toraja, rombongan kembali ke kota Makassar untuk singgah sembari istirahat di Universitas Hassanudin (Unhas). Seakan tak mau melewatkan hari tanpa moment, keesokan harinya kami langsung meneruskan perjalanan ke Fort Rotterdam dan Pantai Losari, banyak sekali cerita


dan moment yang bisa kita abadikan di kedua tempat itu. Oya, di sini kita juga bisa berburu berbagai macam oleh-oleh khas Makassar. Amazing pokoknya!
Paralayang Pantai Losari


Itulah sedikit cerita dari saya selama mengikuti JFMI VII Makassar, begitu banyak pengalaman, banyak cerita lucu, banyak moment kebersamaan yang tidak bisa saya ceritakan secara detail, pokoknya sangat berkesan dan susah diungkapkan dengan kata-kata. Tahun depan target selanjutnya JFMI VIII di Solo, siapkan diri kalian dan sampai bertemu lagi teman-teman. Salam Kreasi Fotografi.

G-Phoc dan teman-teman dari UKM Fotografi se-Indonesia di Tanah Toraja, Makasar.

G-Phoc dan teman-teman dari UKM Fotografi se-Indonesia lainnya.

Article written by Rudi
Edited by Yuni

Pesona Kawah Ijen



Blue fire, merupakan maskot andalan wisata Kawah Ijen. Ke Kawah Ijen rasanya belum afdhol kalau belum melihat blue fire, begitu pengakuan para traveller. Dan Blue Fire atau Api Biru itu sendiri hanya bisa dilihat pada dini hari, yaitu ekitar pukul 1 – 2 pagi. Jadi dianjurkan kita untuk mendaki pada pukul 9 atau 10 malam. Namun karena faktor cuaca buruk, musim hujan beberapa bulan terakhir ini memaksa para petugas keamanan wisata tersebut menutup sementara wisata Blue Fire, yaitu pendakian pada pukul 8 malam sampai jam 3 pagi. Lewat dari jam itu, wisata Kawah Ijen kembali dibuka. Dikarenakan kabut yang begitu tebal menyelimuti kawah dan sekitarnya untuk menghindari hal-hal yang tidak inginkan.
Namun, penutupan sementara wisata blue fire itu tidak menyurutkan semangat kami untuk tetap menjejakkan kaki ke sana, demi sebuah pembuktian pesona Kawah Ijen yang sudah santer menjadi buah bibir di kalangan para traveller. Menurut mereka, tanpa ada blue fire-pun, Kawah Ijen tetap mempesona. Akhirnya, aku dan para sahabat berangkat dari Malang menuju Kawah Ijen dengan melalui jalur utara, yaitu Malang-Pasuruan-Probolinggo-Situbondo-Bondowoso-Kawah Ijen. Bisa juga kalian mencoba jalur selatan, yaitu Malang-Lumajang-Jember-Jajag-Licin-Kawah Ijen, itu juga recommended.
Kami pun sampai di pos penjagaan pintu masuk wisata Kawah Ijen tepat pada pukul 7 pagi. Selama memasuki kawasan wisata Kawah Ijen ini, kita akan menjumpai dua pos penjagaan, yang tiap melewatinya kita perlu berhenti untuk melapor dan meminta izin pada petugas jaganya. Dari pos penjagaan pertama kita masih memerlukan waktu sekitar 1 jam perjalanan untuk menjangkau tempat parkir utama yang lokasinya tepat di kaki gunung Ijen. Setelah memarkir kuda-kuda besi tunggangan, kami melepas lelah terlebih dahulu sambil mengusir rasa lapar dengan semangkuk mi rebus di salah satu kantin dekat parkiran. Udara yang begitu dingin menggigit, sedikit terhangatkan oleh semangkuk mi rebus panas dan segelas teh yang panas juga.

Keluarga besar G-Phoc, dan logo UKM tercinta kita. Berhenti dan berfoto sesaat di pos jaga pintu masuk yang pertama.

Setelah terbayar rasa penat dan lapar, kami pun mulai melakukan pendakian menuju kawah. Awalnya derap kaki kami begitu bersemangat dan tegar menapaki tanah yang mulai menanjak ke atas itu, tapi lama-lama terasa gempor juga, hehe. Kami banyak melakukan banyak pemberhentian selama pendakian menuju kawah, selain karena faktor gempor kaki, juga karena faktor cuaca yang kurang mendukung, kabut yang tebal ditambah mendung yang gelap, dan akhirnya mendung pun merintikkan air-air simpanannya. Namun tiap kali nyali kita ciut untuk meneruskan kembali pendakian, para bapak tua penambang belerang selalu membuat kita malu. Mereka yang sudah tua saja cukup bersemangat mendaki dan menuruni kawah dengan memanggul dua ranjang berisi belerang seberat 70 samapai 80 kg, sedangkan kita yang masih muda dan hanya membawa sebotol air minum dan kamera aja udah ngos-ngosan hampir putus harapan. Malunya tuh di sini… hehe


Banyak bule dari berbagai negara yang berkunjung ke kawah, mereka tidak sungkan untuk bertegur sapa dengan kita.


Pak Mujio, salah satu penambang belerang yang berpapasan dengan kita selama pendakian.

Sebelum mencapai puncak yang berkawah itu, kami pun menjumpai sebuah kantin yang menjual pop mie aneka rasa, teh dan kopi panas. Keberadaan kantin itu sangat tepat sekali, sangat menolong para pendaki yang mulai kehabisan tenaga dan kelaparan sebelum mencapai puncak. Di kantin itu kami berhenti selama 30 menit untuk melepas lelah dan dahaga. Tak terasa hampir tiga jam sudah kami mendaki sebelum menjangkau kantin ini. Menurut penjaga kantin ini, ketinggian gunung Ijen sekitar 2.443 m dari atas permukaan laut. Woaww…! Hehe. Dan gunung Ijen ini masih aktif loo..

Kantin yang berada di atas gunung Ijen ini menjadi setitik harapan bagi para pendaki yang mulai kelelahan dan kehabisan perbekalan.

Di kantin ini pun para penambang belerang menimbang dan melaporkan hasil tambangnya ke mandornya yang telah standby menunggu.
Pendakian menuju puncak pun kami mulai kembali. Tapi tidak seberat sebelumnya, pendakian terasa ringan karena tanah tak begitu terjal, di sisi sepanjang jalan kita juga disuguhi oleh view pengunungan yang aduhai.. Pohon-pohon yang telah merangas dan tak berdaun menambah pesona view sepanjang perjalanan menuju puncak. Bagai tengah mendaki di salah satu pegunungan di Eropa, hoho.. Serius loo xixi.


View pegunungan yang bisa kita lihat di sepanjang perjalanan menuju puncak Kawah Ijen.


Pohon-pohon kering tanpa daun menjadi salah satu daya tarik pemandangan di Kawah Ijen.

Salah satu view menarik yang bisa kita lihat di sepanjang jalan menuju puncak kawah.

Bukit-bukit yang hijau mudah sekali kita temui di sepanjang jalan menuju puncak, dan itu sangat menghipnotis mata kita.


Dan akhirnya sampai juga ke puncak berkawah yang selalu aktif memproduksi belerang itu. Namun sayang kabutnya begitu tebal, ditambah bau belerang yang amat menyengat di hidung, membuat moment foto-foto sedikit terganggu dan kurang sesuai harapan. Setelah hampir 30 menit mengabadikan view-view di pinggir kawah, kami pun langsung memutuskan turun gunung kembali, karena sudah tidak tahan lagi dengan bau belerangnya yang sangat tajam, sampai membuat kami terbatuk-batuk.


Ketua Umum G-Phoc (Gajayana Photography Club) Malang, berfoto tepat di pinggir kawah yang hampir tertutup oleh tebalnya asap belerang.


Suasana di pinggir kawah, para pengunjung mencoba mengabadikan diri dan sahabat-sahabatnya.

View Kawah Ijen dari sisi lain.

Kawah Ijen yang hampir tak terlihat karena tertutupi oleh asap tebal yang berasal dari kawah itu sendiri.

Pepohonan yang kering mudah sekali dijumpai di pinggiran kawah, terlihat eksotik.

Perjalanan menuruni kawah tidak seberat ketika mendakinya. Tanah yang bercampur pasir hitam sisa-sisa aktifitas vulkanik gunung, membuat tanah begitu licin, kaki-kaki kami beberapa kali terpeleset dan meluncur bebas. Tapi seru juga. Oya, sebelumnya kami membeli beberapa oleh-oleh kerajinan dari belerang yang telah di cetak dengan berbagai bentuk yang unik dan cantik, kami membelinya dengan harga 10 ribu saja perbelerangnya untuk yang berukurab besar, yang ukuran kecil bisa lebih murah meriah, 3 ribuan perbijinya. Belerang-belerang itu bisa dijadikan pajangan atau bisa juga untuk sabun bagi para penderita alergi kulit.


Kerajinan tangan dari belerang yang telah dicetak dengan berbagai bentuk dan tulisan, lalu dikeringkan.
Pendakian di Kawah Ijen pun usai sudah, meski cuaca kurang bersahabat, namun keindahan kawah dan view-view disekitarnya tetap terlihat dan berhasil kita abadikan melalui lensa-lensa kami, meski hasilnya kurang maksimal. Jadi, kapan-kapan kita masih perlu mengulangi lagi ya para sahabatku, untuk hasil motret yang lebih wahh… Masih belum kapok mendaki kan??? haha


Keluarga besar G-Phoc di pinggir kawah Ijen.

Artcle written by Yuni

KARYA UTAMA



Karya pertama saya berjudul “Mari Lindungi Bumi”. Tehnik pengambilan foto ini menggunakan speed1/80 dan diafragma f/8. Pesan yang ingin saya sampaikan adalah sebagai manusia hendaknya kita melindungi bumi dari pemanasan global, karena saya lihat disekitar kita banyak sekali penebangan pohon liar, polusi udara, dan lainnya.



Karya kedua saya yang berjudul “kriukkk” diambil dengan speed 1/100 dan diafragma f/11. Pesan yang ingin saya sampaikan dari foto ini adalah pesan komersial, yang bertujuan menarik konsumen untuk membeli camilan yang bermerk “CHIPS” ini, yang rasanya enak dan renyah serta harganya yang murah meriah. Makanan ini bisa dibeli di swalayan-swalayan terdekat seperti di indomar

PAMERAN PERDANA KU

Karya pertama saya, saya beri judul “Battle”. Kenapa saya beri judul itu ? karena saya melihat gaya dari objek diatas, yang seolah – olah sedang bersiap untuk berduel. Judul “Battle” saya ambil dari bahasa Inggris yang artinya duel, karena sesuai dengan pose objek diatas. Komposisi dari karya saya adalah ½, yaitu hanya terfokus pada salah satu objek saja. Diafragma yang saya gunakan adalah F/5.6, dengan Speed 1/600. Jelas sekali kenapa saya gunakan F/5.6, itu karena saya sengaja ingin memfokuskan pada satu objek saja, dan kenapa saya gunakan speed 1/600 ? tentu saja itu batas normal pencahayaan kamera.


Karya kedua saya, berjudul “Speed”. Kenapa “Speed” ? Karena menurut saya itu tepat sekali dengan gambar diatas. Dan judul itu pun berasal dari bahasa Inggris yang artinya kecepatan. Sesuai dengan teknik yang saya gunakan, yaitu Panning yang biasa digunakan untuk menunjukkan suatu kecepatan. Saya menggunakan diafragma F/18, karena teknik Panning harus menggunakan Speed rendah, dan diafragma F/18 sebagai titik normal pencahayaan kamera. Dan saya juga menggunakan Speed 1/30, karena teknik ini membuat objek yang bergerak menjadi diam, dengan cara menggerakkan lensa mengikuti objek yang bergerak.


Karya ke-3 berjudul “SI MATA BESAR” tentu saja sesuai dengan gambar, judul saya ambil dari bentuk mata hewan ini yang memang begitu besar dibanding dengan marmut jenis lainnya. Komposisi ini jelas komposisi 1/2, dengan diafragma F/5.6, dengan speed 1/100. Saya gunakan diafragma F/5.6 karena tentu saja saya hanya mau memfokuskan pada salah satu objek saja yaitu matanya. Nah speed 1/100 masih sama dengan yang tadi saya sesuaikan dengan titik normal pencahayaan kamera.


Karya ke-4 “SANG PELINDUNG” kenapa ? Karena sesuai dengan sepengetahuan saya patung kecil yang tepat berada di depan patung besar itu merupakan salah satu pelindung seorang kesatria yang menaiki seekor garuda raksasa untuk suatu misi tertentu. Sama seperti sebelumnya menggunakan komposisi 1/2, diafragma F/5, speed 1/1000, dan ISO-100. F/5 karena saya mau fokus pada satu objek saja, speed 1/1000 titik normal pencahayaan kamera, dan ISO-100 untuk mengurangi noise (bintik hitam) pada objek.


Karya ke-5 “SENYUM MANJA” saya ambil dari expresi model diatas, dengan senyumannya yang memanja, dengan tatapannya kepada kamera yang membuatnya semakin terlihat manja. Foto ini saya ambil dengan diafragma F/7.1, speed 1/100. Speed 1/100 saya pilih agar dapat dengan cepat mengambil expresi spontan dari model ini. Dan F/7.1 memang saya pilih untuk lebih over pencahayaan sedikit, untuk membuat dimensi warna background.

SEKIAN DAN TERIMA KASIH.

Still Life

Love in Still Life Photography


Love in Still Life Photography

Still life adalah salah satu dari kategori foto yang sangat umum. Maksud dari still life itu sendiri adalah untuk membuat benda/seseuatu yang mati seolah-olah terlihat hidup setelah difoto. Ada banyak sekali ide untuk membuat foto still life. Kita bisa memanfaatkan benda-benda yang ada disekitar kita, dan menatanya dengan demikian menarik untuk difoto. Jadi, ada beberapa tahap dalam mengambil foto still life, yaitu yang pertama mencari tema, kedua mencari konsep yang semenarik mungkin untuk mendukung tema tersebut, mencari bahan-bahan untuk digunakan sebagai objeknya, lalu yang terakhir adalah proses pemotretannya.
Di sini saya akan memperlihatkan beberapa ide saya dalam membuat foto still life hanya dengan memanfaatkan benda-benda dari sekitar kita, dan semuanya saya kemas dalam satu tema, yaitu love (cinta). Foto still life yang pertama berjudul I Love Reading, dan foto kedua berjudul Ikatan Suci.


Foto still life yang pertama mengisahkan cinta dalam membaca buku. Bahan-bahan untuk membuat still life sangat mudah kita dapatkan di sekitar kita, yaitu buku, cincin, kertas merah untuk background, dan manik-manik kecil. Sedangkan tehnik pengambilannya adalah dengan mengambil diafragma 5,6, speed 160 sec, dan focal length 185 mm. Dan kamera yang saya gunakan adalah kamera NIKON D5100 jenis tele 70-300 mm, namun kita bisa menggunakan jenis kamera yang lain.



Foto yang kedua menggambarkan cinta sepasang kekasih yang diikatkan dalam sebuah pernikahan. Foto still life ini memanfaatkan benda-benda yang simple juga, seperti telor ayam, bunga melati putih, kertas merah untuk background, spidol hitam untuk menggambar wajah, karton hitam untuk baju mempelai laki-laki, kaca untuk alas agar ada kesan pantulan, kain rantai manik-manik warna silver (bisa dibeli di toko pernak-pernik dengan harga 1000 rupiah per meternya). Sedangkan dari segi tehnik pemotretannya adalah dengan menggunakan kamera tele juga, dengan mengambil speed 8 sec, diafragma 5,6, dan focal length 52 mm.
Cukup mudah bukan? Nah, kalian semua bisa mencobanya sendiri dengan mencari ide-ide yang lebih kreatif untuk menghasilkan foto-foto still life yang lebih keren lagi. Selamat mencoba….! ^_^

Article written by Yuni






Writer: Yuni
Editor: Yuni



Senin, 20 April 2015

KAMPUNG WISATA KERAMIK DINOYO MALANG

KAMPUNG WISATA
KERAMIK DINOYO MALANG

Kampung wisatakeramik dinoyo ini terletak di wilayah kecamatan Lowokwaru kabupaten Malang. Di daerah Dinoyo terdapat sebuah kampung yang mayoritas masyarakatnya adalah pengrajin keramik.Keramik Dinoyo memiliki kualitas yang sangat bagus dibandingkan dengan kerajinan keramik lainnya, baik darisegi kualitas desainnya, motif keramiknya, dan variasibentuknya.
Tujuan memberi nama kampung wisata keramik adalah untuk mengundang perhatian wisatawan dari luar kota maupun mancanegara untuk memperkenalkan pusat pembuatan keramik asli Malang. Cinderamata keramik dinoyo ini sudah tidak asing lagi di telinga konsumen. Banyak pemesanan dari luar Jawa seperti Bali, Kalimantan, Medan, dan Makasar. Tidak sedikit konsumen yang mengujungi home industriini yang telah berkembang sejak tahun 1957, dan diresmikan pada tahun 2000.Pemilik home industry iniadalah Bapak Hj Syamsul Arifin(60),yang dibantu kurang lebih 8 karyawanya.
Ada 5 tahap pembuatan keramik dinoyo ini, yaitu:
Langkah pertama adalah Mixer, yaitu memasukkan bahan–bahan ke dalam suatu wadah yang kemudian diolah agar bahan – bahan yang dimasukkan bisatercampursecaramerata.

Langkah kedua adalah tahap pencentakan keramik.Dari hasil mixer, olahan bahan keramik tersebut dibentuk sesuai design yang ingin kita bentuk dengan menggunakan media Gift.Gift adalah alat yang digunakan untuk mencetak atau mendesign keramik agar sesuai dengan bentuk yang kita inginkan. Ada banyak variasi bentuk cetakan yang dibuat untuk menarik perhatian konsumen.

Langkah ketiga dalam pembuatan keramik adalah melakukan pengeringan. Keramik yang telah selesi dicetak , dijemur agar keramik tersebut cepat kering.

Langkah keempat adalah pendekorasian keramik.Pada tahap ini dibutuhkan kemampuan melukis, tingkatkesabaran, ketelitian, dan kreativitas yang tinggi, agar hasil keramik yang dibuat terlihat sempurna.



Langkah selanjutnya adalah memberikan Glasir,yakni memberi lapisan gelas pada keramik. Caranya adalah dengan mencelupkan keramik ke dalam wadah yang berisi glasir. Ciri khas dari keramik dinoyo Malang adalah lapisan glasir di beberapa bagian luar keramik.

Setelah itu langkah terakhir dari pembuatan keramik dinoyo adalah proses pembakaran, yaitu keramik dibakar selama 10 jam kedalam tungku( oven), dengan suhu mencapai 1220 derajat celcius, agar keramik menjadi padat dan kuat.


Jenis-jenis keramik dapat dilihat dari kegunaannya,motifnya,bahan pembuatnya, dan lain sebagainya. Menurut kegunaannya,jenis keramik dibedakan menjadi beberapa bagian, diantaranya keramik vas bunga,souvenir, guci, lampu set, dan masih banyak macam lagi. Jenis keramik yang paling diminatiadalah jenis keramik vas bungabesar, souvenir besar, dan guci besar. Sedangkanjenis keramik yang kurangdiminati adalah jenis keramiklampu.



Demikianlahsedikitceritatentangkeramikdinoyo Malang, dan proses pembuatannya. Semogabermanfa’at.

Penulis: Desti
Editor: Yuni

Topeng Malang

TOPENG MALANG

“Ada yang pernah melihat topeng Malang?Bagaimana bentuknya?Bagaimana proses pembuatanya?”

Melalui tulisan ini, saya akan berbagi sedikit cerita tentang topeng Malang sekaligus bagaimana cara pembuatannya. Dari hasil survey yang saya lakukan, dapat diketahui bahwa hampir sebagian besar masyarakat Malang sudah mengetahui bahwa topeng malang menjadi ikon kota Malang tercinta. Topeng malang juga merupakan warisan budaya yang sudah ratusan tahun silam. Namun bagaimana berlangsungnya kesenian tersebut mungkin hanya sebagian kecil masyarakat yang mengetahui dan peduli.


Beberapa bentuk ekspresi dari topeng Malang.

Topeng malang mulai terkikis oleh perkembangan teknologi yang membuat masyarakat Malang mulai melupakannya. Berawal dari rasa penasaran ini, saya akan mencoba untuk mengingatkan kembali masyarakat akan warisan budaya yang sangat dekat namun mulai dilupakan masyarakat Malang sendiri. Melalui media fotografi, saya juga akan mencoba menghadirkan bagaimana upaya para seniman topeng malang dalam melestarikan warisan budaya ini dalam bentuk foto.


Sanggar Asmoro, sanggar tari dan topeng Malang.

Berbagi cerita yang saya peroleh dari sanggar tari dan topeng malang yang berada di desa Pakisaji, Malang. Awalnya pada tahun 1982 terbentuk sekelompok tari topeng, setelah itu mereka mengikuti lomba tari se-jatim dan tingkat nasional. Sehingga Bupati Jakarta memberikan hadiah sebuah sanggar tari topeng untuk latihan warga di Pakisaji Malang, dan mereka selalu mengadakan pentas rutin setiap bulannya.


Pak Karimun dengan aktivitas seninya, membuat topeng Malang.

Pak Karimun adalah pendiri pertama sanggar tari topeng malang ini yang di beri nama Asmoro Bangun. Selain mempertunjukkan tari topeng malang, sanggar sini juga memproduksi topeng malang. Sekarang segala aktivitas di Asmoro Bangun diteruskan oleh cucu dari pak Karimun, yaitu pak Handoyo. Pak Handoyo berada di generasi ke 5 di tari topeng dan generasi ke 3 di kerajinan topeng malang. Pembuatan topeng malang menggunakan bahan kayu sengon yang tekstur kayunya empuk dan mudah di bentuk. Pembuatan topeng malang dibantu oleh saudara pak Handoyo, yaitu pak Edi, pak Raimun, dan mbak Hariati.

Sanggar Asmoro Bangun menjual topeng-topeng produksinya di malang raya dan di luar kota. Tak hanya itu, banyak sekolah-sekolah yg mengadakan studi tour atau fieldtrip di Asmoro Bangun untuk mengetahui cara pembuatan topeng dan sejarahnya. Banyak piagam penghargaan yang diperoleh sanggar tari dan pembuatan topeng malang ini. Latian tari dilakukan setiap hari minggu jam 08.00 smpai jam 10.00 yang diikuti oleh anak-anak dan warga di Kedungmonggo, Karang pandan, kecamatan Pakisaji, Malang.

Di akhir tulisan ini, saya menampilkan beberapa foto yang memperlihatkan proses pembuatan topeng Malang.

Gelondongan kayu sengon sebagai bahan utama topeng malang.


Proses pemahatan topeng malang ari gelondong kayu sengon


Menggambar detail ukiran topeng malang

Proses penghalusan topeng malang yang sudah terbentuk.

Proses pengecatan topeng malang.

Semoga bermanfaat…!

Article written by Ringgih G. Anggoro
Edited by Yuni